Lee Kyounghoon mengingat pengorbanan orangtuanya menjelang upayanya mempertahankan gelar pada ajang AT&T Byron Nelson, 12-15 Mei pekan ini.

Oleh Chuah Choo Chiang, Senior Director, Marketing & Communications APAC untuk PGA TOUR dan berdomisili di Malaysia.

Sebagai anak tunggal, Lee Kyounghoon tidak memiliki club golf terbaru atau aparel bermerek, seperti halnya anak-anak Korea lainnya yang tumbuh dengan mengidolakan Tiger Woods dan K.J. Choi.

Kedua orangtuanya mengelola restoran di Seoul sambil menabung uang yang mereka hasilkan untuk membiayai hasrat dan impian Lee dalam golf. Inilah yang membuat pemuda ini tetap rendah hati dan sangat menghargai pengorbanan yang sang ayah, Sang Moo, dan ibu, Hong Heawon lakukan.

Dengan perayaan Hari Ibu pada akhir pekan lalu, Lee tidak akan pernah cukup berterima kasih kepada sang ibu, yang sendirian mempertahankan bisnis mereka agar terus berjalan. Sang ayah sendiri harus mengambil peran sebagai seorang supir, pengantar, dan pendamping kepercayaan dalam masa-masa awal perjalanan golf Lee.

Pegolf berusia 30 tahun ini segera mempertahankan gelar AT&T Byron Nelson di TPC Craig Ranch, Texas pekan ini. Setahun sudah berlalu sejak ia meraih kemenangan perdananya di panggung PGA TOUR. Singkatnya, perjalanannya untuk mewujudkan impian Amerikanya adalah perjalan yang panjang dan berat, serta naik-turun.

”Tanpa ibu saya, kami tidak akan bisa sampai sejauh ini,” tutur Lee, yang mencapai finis terbaiknya dengan berada di peringkat 31 pada daftar peraih poin FedExCup musim 2020-2021 lalu.

”Ia menangani segalanya. Pekerjaan terberat justru dilakukan ibu saya sendirian. Ayah dan saya tinggal bersama dan berada jauh. Saya banyak memikirkan betapa sepi dan beratnya kehidupan bagi ibu. Jadi, kalau memikirkan kerja kerasnya, terkadang hati saya terenyuh.”

 

 

Hanya ketika Lee sudah lebih besarlah ia bisa memahami beratnya perjuangan sang ibu, termasuk tidur sendirian di restoran karena rumah mereka terlalu jauh dan terkadang terlalu larut untuk pulang ke rumah setelah jam kerja. Ia juga sungguh menghargai fakta bahwa kedua orangtuanya menanggung beban finansial tanpa sepengetahuannya.

”Saat itu, mereka tidak membahas soal kesulitan yang ada. Saya hanya melakukan apa yang ingin saya lakukan. Kalau ada barang-barang baru … maksud saya, para pemain yang membeli baju baru untuk bermain golf, saya memberi tahu mereka kalau saya juga ingin. Sakit juga rasanya karena saya meminta hal demikian. Kalau saja saya tahu, saya tidak akan menyusahkan mereka. Ada kalanya ibu dan ayah mengalami masa-masa sulit. Mereka cuma menyemangati saya untuk melakukan hal yang saya inginkan.”

Heawon menyampaikan bahwa ia dan suaminya hanya ingin melakukan apa yang semua orangtua ingin perbuat, yaitu memberi Lee semua kesempatan untuk bisa berhasil dalam hidupnya setelah putra mereka itu terpikat oleh golf sejak berusia 13 tahun. ”Ada kalanya saya berharap ada seseorang yang mendampingi saya mengelola restoran,” ujarnya. ”Restoran itu agar Kyounghoon bisa berhasil, jadi saya bisa bertahan dan melaluinya.”

Sang ayah pun merasa bangga atas pencapaian putranya di AS dan juga Asia, di mana ia dua kali menjuarai turnamen, masing-masing pada Korean PGA Tour dan Japan Golf Tour. Sangmoo menyampaikan bagaimana putranya itu akan menerima apa pun yang bisa mereka berikan selama mereka bersama di kamp latihan dan turnamen, baik di Korea maupun di luar negeri.

 

Lee Kyounghoon dan keluarganya di Augusta National 2022.
(Ki-ka) Lee Kyounghoon, Yu Jooyeon menggendong putri mereka Celine Yuna Lee, sang ibu Hong Heawon, dan sang ayah Lee Sangmoo pada The Masters 2022. Foto: Dok. Pribadi Lee Kyounghoon.

 

”Kami agak kekurangan uang pada saat itu. Bahkan meski kami tidak memberitahunya, dia bisa tahu,” tutur Sangmoo. ”Jika semua temannya mengenakan Nike, saya harus membelikan dia baju yang tidak bermerek. Kyounghoon tidak merasa malu sama sekali bahkan terus berlatih. Kenapa rasa malu seakan tidak dirasakan oleh anak kecil itu?”

Awalnya, kedua orangtua Lee tidak membayangkan putra mereka akan menjadi pegolf profesional. Nilai-nilainya di sekolah bagus dan ia terpilih untuk cabang olahraga tolak peluru karena posturnya yang cukup mendukung. Namun, golf segera memikat perhatiannya karena sang kakek bermain golf. Lagipula ada driving range yang dibuka di dekat restoran keluarga ini.

Lee segera belajar dari pelatih profesional setempat, Chun Hyungsang, yang segera menyadari perbedaan pada bocah ini. ”Dia anak yang sangat lembut, dan awalnya, saya juga bertanya-tanya apa dia bakal mahir pada olahraga ini. Awalnya dia biasa-biasa saja. Namun, setelah beberapa waktu, ia menunjukkan kalau ia bisa diandalkan dan tidak bertingkah sembrono, seperti anak-anak lainnya. Fokusnya sangat bagus dan dia bisa mengendalikan diri dengan baik. Ia selalu mengajukan pertanyaan. Jadi, saya menyarankan kepada ayahnya untuk membiarkan dia tumbuh sebagai seorang pegolf karena ia punya kapasitas itu,” kenang Chun.

”Ketika datang latihan, ia jarang sekali mundur dari spot memukulnya. Dia berlatih dengan mantap. Saya bisa bilang ke dia, Kyounghoon, kalau sudah selesai latihan, pulanglah. Dia akan mengiyakan, tapi tidak pernah meninggalkan tempat latihan. Dia jenis pemain yang disukai pelatih. Dalam kepribadian yang lembut itu, ia memiliki sesuatu yang lebih … kalau bisa saya bilang, tangan besi dalam sarung tangan beludru?”

”Kami melakukan yang terbaik, kami berkorban demi Kyounghoon. Karena kami adalah orangtua, itulah yang kami lakukan.” — Lee Sangmoo.

Chun menilai mantan muridnya ini bisa melampaui delapan gelar PGA TOUR yang diraih K.J. Choio. ”Saya pikir dia bakal main bagus untuk jangka panjang. Sekarang ia sudah menikah dan punya anak. Hidupnya telah stabil, dan ia berlatih keras, kesempatan lainnya akan segera tiba. Sekarang, setelah berhasil menang, ia bisa bermain dengan lebih nyaman tanpa merasa terbebani. Dia bisa menang sepuluh kali lagi. Menurut saya demikian.”

Kalau ada hal-hal dari masa lalunya yang ia sesali, itu adalah ketika ia berdebat dengan sang ayah ketika sedang dalam perjalanan. ”Kami melalui masa-masa sulit bersama. Kami sering bertengkar, waktu itu berat sekali dan ada banyak perdebatan. Kalau mengingat masa-masa itu sekarang saya merasa menyesal. Ayah telah menemani saya dalam tiap putaran, tiap hari. Sebenarnya, ia tak mesti berbuat demikian. Entah bagaimana ia membagi jadwal saya dengan seimbang. Mengikuti jadwal saya pastilah berat secara fisik baginya,” kenang Lee.

”Beliau memberi banyak nasihat. Ayah banyak membaca buku dan kapan pun menemukan artikel yang bagus, pastilah ia akan membagikannya kepada saya. Namun, lebih dari itu, ia mendorong saya agar tidak menyerah sampai akhir karena inilah jalan yang saya pilih.”

Meski putranya telah mengumpulkan US$5,6 juta dalam empat musim berlaga pada PGA TOUR, sang ayah sadar bahwa putranya ini akan tetap merasa lapar untuk meraih lebih banyak sukses lantaran perjuangan keluarganya. ”Uang selalu menjadi alasan terakhir,” tutur Sangmoo. ”Semua itu tidak akan cukup … ketika itulah saya mempelajari semangat untuk tetap merasa lapar dan mengapa semua atlet perlu memiliki semangat untuk tetap merasa lapar. Kami menunjukkan situasi kami secara terbuka kepada Kyounghoon, tapi kami tidak secara blak-blakan memberi tahu kalau keuangan kami sulit. Dia bisa mengetahuinya sendiri.

”Kami melakukan yang terbaik, kami berkorban demi dia. Karena kami adalah orangtua, itulah yang kami lakukan.”